ARTIKEL

Kamis, 26 Januari 2012

Kedudukan anak dalam keluarga

Setiap anak dalam keluarga mempunyai posisinya sendiri-sendiri. Setiap kedudukan menyebabkan tanggungjawab dan konsekuensi yang berbeda. hal ini bisa disebabkan oleh kebudayaan maupun sikap orantua yang berbeda. untuk itu kita mengenal adanya “anak sulung”, “anak tengah”, “anak bungsu” dan “anak tunggal”.

Berhubung pembahasan tulisan ini ditujukan pada anak tunggal maka tentu ada baiknya anak bungsu, anak tengah, anak sulung juga dibahas sebagai bahan perbandingan.

Anak sulung

Sesuai dengan namanya maka yang dimaksud dengan anak sulung ialah anak yang paling tua atau anak pertama yang lahir dari suatu keluarga. Karena anak tersebut adalah anak pertama maka berarti pengalaman merawat anak, pengalaman mendidik anak belum dimiliki oleh kedua orangtuanya. Sering dikenal bahwa anak sulung ini sebagai “experimental child”. Kekurangan pengetahuan dan pengalaman dari orangtua membawa akibat tersendiri dalam diri anaknya ini. Jadi karena orangtua belum berpengalaman merawat anak sewaktu menghadapi anak pertamanya, orangtua cenderung terlalu cemas dan melindungi berlebihan. Begitu pula orangtua belum menyadari secara penuh mengenai peranan menjadi orangtua.

Situasi selanjutnya ialah kelahiran adiknya. Rupanya kehadiran seorang adik bagi anak sulung mempunyai arti yang penting sehingga menampilkan kelakuan-kelakuan yang tidak baik seperti minta perhatian yang berlebihan, kekanak-kanakan, mengenyot jari, menggigit kuku, sulit tidur, dan lain-lain.

Perkembangan selanjutnya ialah menempatkan diri anak sulung pada posisi memimpin karena anak sulung ini bila dibandingkan dengan adinya mempunyai badan yang lebih besar dan lebih kuat. Begitu pula perlakuan orangtua terhadap anak sulung agak berlainan, misalnya adinya masih harus tinggal di rumah tetapi anak sulung tersebut sudah diantarakan oleh ibu untuk pergi sekolah. Lalu dibelikan buku-buku, pinsil, tas sekolah, sedang adinya tidak mendapatkan barang-barang seperti itu. Demikian pula seorang anak sulung menjadi lebih mempunyai tanggungjawab. Seringkali dialami bilamana kedua orangtua meninggal, seorang anak sulung akan menggantikan kedudukan orangtuanya untuk mengendalikan keluarganya, mencari nafkah, menyekolahkan adik-adiknya.

Disamping itu dalam sutau masyarakat tertentu, kedudukan anak sulung ini mempunyai konsekuensi struktural, misalnya adak sulung dianggap lebih superior sehingga anak sulung ini dapat menentukan perkawinan adik-adiknya, kemenakan-kemenakannya bahkan mengatur warisan nenek moyang.

Anak tengah (in between child)

Kedudukan anak ini diapit oleh seorang atau beberapa orang kakak dan seorang atau beberapa orang adik. Dengan kedudukan di tengah ini berarti akan tersebut berada dalam kedudukan terjepit. Dijepit oleh kakaknya dari atas dan oleh adiknya dari bawah. Karena keadaan fisik kakaknya biasanya lebih besar maka dapat menimbulkan tekanan bila kakaknya bertindak otoriter. Adiknya yang kecil dengan segala kelucuannya dapat merebut perhatian orangtuanya sehingga menimbulkan rasa iri hati dalam diri anak tersebut. Demikianlah kedudukan anak tengah ini, selain ia harus menghadapi orangtuanya yang memegang tampuk kekuasaan ia juga harus menghadapi kakaknya yang lebih kuat dan lebih besar dan mempunyai lebih banyak kebebasan untuk bergerak. Biasanya, segala miliknya dalah bahan-bahan bekas yang pernah dipakai oleh kakaknya, seperti permainan, baju-baju, alat-alat sekolah, dan lain-lain.

Anak bungsu

Dalam masyarakat terdapat pendapat-pendapat umum bahwa anak bungsu ini adalah anak yang manja oleh karena menjadi pusat perhatian keluarga, baik dari orangtua maupun dari kakak-kakaknya, lebih-lebih lagi bila kakak-kakaknya berbeda usia cukup besar sehingga kedudukan akan bungsu ini benar-benar menjadi obyek kesenangan anggota keluarga di rumah. Dengan mendapat perhatian yang terus menerus dari kakak-kakaknya yang lebih dewasa dan dari orangtuanya, mengakibatkan sifat-sifat anak bungsu ini sering terlihat seperti kekanak-kanakan, cepat putus asa dan bila menginginkan sesuatu kemudian tidak tercapai, maka akan memberikan reaksi yang sifatnya emosional, misalnya cepat menangis, bertingkahlaku secara berlebihan, dan lain-lain.

Anak tunggal dalam lingkungan masyarakatnya

Terlebih dahulu akan diuraikan perkembangan anak dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perkembangan anak selalu dipengaruhi oleh dua faktor yang terdiri dari:

    1. Faktor internal atau faktor dalam, disebut juga faktor herediter.
    2. Faktor eksternal atau faktor luar, disebut juga faktor lingkungan.

Yang dimaksud dengan faktor internal ialah faktor yang secara potensial sudah ada pada anak, sudah dimiliki oleh anak sejak lahirnya dan faktor ini turut memberikan pengaruhnya pada perkembangan kepribadian selanjutnya. Dengan demikian anak pada waktu dilahirkan telah membawa faktor-faktor seperti sifat-sifat turunan, bakat-bakat, pembawaan-pembawaan, dorongan-dorongan dan naluri-naluri tertentu. Karena itulah saat-saat dalam kandungan, mulai dari terjadinya pertemuan antara kedua sel dari orangtua sampai dengan terjadinya kelahiran merupakan saat yang penting dalam kehidupan anak. Pola-pola untuk perkembangan selanjutnya pada saat-saat itu sudah terbentuk. Jadi potensi-potensi ini adalah sesuatu yang sudah dibawa oleh anak pada saat ia dilahirkan. Faktor-faktor ini merupakan dasar yang luas pada mana struktur kepribadian akan terbentuk. Selanjutnya dapat dilihat bahwa sampai sejauh mana dan dengan arah ke mana potensi-potensi yang ada akan memperlihatkan dirinya, tergantung pada pengaruh-pengaruh dari lingkuangan adalah sedemikian saling melibatnya sehingga sukar untuk dipisahkan lagi. Misalnya seorang anak yang secara potensial genius, tetapi menjadi anak terbelakang mental akibat terjadinya ganguan pada waktu dilahirkan. Jadi potensi yang ada dihalangi sehingga tidak muncul.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa faktor internal jauh lebih penting daripada faktor lingkungan, juga ada pendapat yang sebaliknya. McDonald telah memberikan dasar mengenai hubungan istilah “native endowment or potentialities”, sedang faktor eksternal atau lingkungan diberikan istilah sebagai “the learning opportunities provided by the experiences of the child”. Kedua faktor ini saling berhubungan secara kompleks. Menurut pendapatnya, hubungan tersebut sebagai berikut:

  1. “Native endowment” dari organisme memberikan dasar dan batas-batas untuk perkembangan kepribadian.
  2. Dalam batas-batas yang ditentukan, organisme adalah plastis dan mampu untuk berbagai perkembangan.
  3. Sekalipun ia plastis untuk berkembang, tetapi ia tergantung pada pengalaman yang ada.

Dengan demikian terlihatlah hubungan yang dinamis antara faktor internal dengan faktor eksternal dalam pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian.

Mengenai faktor eksternal dapat diterapkan sebagai berikut: Sebaliknya dari faktor internal maka di sini faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian seorang anak berasal dari luar diri anak itu sendiri. Yang dimaksud dengan faktor di luar diri anak itu sendiri ialah lingkungan hidupnya di mana seorang anak dibesarkan. Seorang anak yang dibesarkan di tengah-tengah hutan Irian Barat tentu akan berbeda tingkahlakunya dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan di tengah-tengah kota Jakarta yang ramai dan modern. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa seroang anak yang sama-sama dibesarkan di tengah-tengah kota Jakarta akan memiliki tingkahlaku yang sama. keadaan lingkungan sosial juga akan mempengaruhi kepribadian seorang anak. Karena keadaan inilah maka McDonald membagi faktor eksternal ini menjadi dua golongan yaitu:

  1. Lingkungan budaya
  2. Lingkungan antar pribadi.

Dalam lingkungan budaya tercakup obyek fisik seperti keadaan rumah, corak-corak pakaian yang dikenakan. Bentuk-bentuk rumah seperti panggung, bentuk rumah dengan pekarangan yang luas, bentuk rumah berupa flat-flat dengan pekaranga sempit, semua ini akan mempengaruhi perkembangan kepribadian seorang anak. Disamping itu juga meliputi norma-norma dari masyarakat di mana anak itu dibesarkan. Demikianlah Breckenridge, Marian E. & Vincent E. Lee, menekankan hal sebagai berikut: “Kebudayaan biasanya berusaha mengubah tidak saja fisik melainkan juga kebiasaan, sifat dan kepribadian”.

Dalam lingkungan antarpribadi – yang dimaksud di sini adalah proses interaksi antara seorang dengan orang-orang lain. Pengaruh dari orang-orang lain mempunyai peranan yang lebih besar daripada pengaruh obyek-obyek atau benda-benda saja. Mereka yang memegang peranan terbesar pada perkembangan kepribadian seorang anak adalah orangtua, kakek-nenek, guru-guru, teman-teman sekitarnya. Anak memberikan respon tidak hanya terhadap orang-orang yang ada dalam lingkungannya. Seorang anak di dalam lingkungan orang-orang lain menyadari bahwa orang lain itu memberi respon terhadapnya dan mengadakan aksi tertentu terhadap reaksinya, disebut sebagai proses interaksi. Menurut McDonald: “Pada hakekatnya suatu proses interaksi terjadi bilamana tingkahlaku seseorang menjadi perangsang timbulnya respon pada orang lain dan sebaliknya”.

Keadaan rumah sebagai faktor lingkungan antarpribadi memberikan pengaruh yang penting bagi perkembangan kepribadian seorang anak. Cara hidup orangtua secara langsung mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Orangtua yang sering membaca buku-buku perpustakaan yang baik, kemudian menceritakan cerita-cerita kepada anak-anaknya akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan kepribadian anaknya. Jadi orangtua yang banyak memberikan perhatiannya kepada anak-anaknya akan memberikan pengaruh yang berbeda dari orangtua yang kurang memperhatikan anak-anaknya. Brecknridge & Vincent mengemukakan pentingnya rumah bagi perkembangan anak sebagai berikut:

  1. rumah adalah tempat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan fisik dan kebutuhan-kebutuhan psikologis anak.
  2. rumah adalah tempat untuk belajar.
  3. rumah adalah juga merupakan tempat anak untuk mendapat pengalaman-pengalaman dalam menerima dan juga dalam menghadapi orang-orang lain.
  4. rumah adalah tempat untuk beristirahat setelah lelah dengan aktivitas-aktivitas sehari-hari.

Begitu pula keadaan sekolah juga memberikan peranan yang tidak kecil. Bila seorang anak mengalami ketidakpuasan dalam keluarganya atau kepada orangtuanya maka biasanya anak tersebut mencari penggantinya di sekolah, misalnya di antara guru-gurunya. Jadi peranan guru dapat menjadi pengganti orangtuanya. Mengenai sekolah ini, McDonald mengemukakan sebagai berikut: “Sekolah adalah lingkungan yang khusus untuk mengubah tingkahlaku secara menetap dalam hubungan dengan seluruh perkembangan pribadinya sebagai anggota masyarakat.”

Jadi sekolah memang suatu bentuk lingkungan yang khusus dibentuk untuk mengembangkan tingkahlaku seseorang. Banyak sekali kejadian di sekolah yang dapat membuat seorang anak merasakan betapa pentingnya peranan sekolah bagi perkembangan kepribadiannya, sehingga pengalaman-pengalamannya di masa sekolah menjadi suatu pengalaman yang sukar dilupakan seumur hidupnya.

Selain keadaan rumah dan sekolah yang memberikan pengaruh besar terhadap kepribadian seorang anak, juga perkumpulan-perkumpulan yang sering diikuti oleh anak-anak tersebut dapat memberikan pengaruh yang berarti terhadap kepribadiannya. Misalnya perkumpulan kerohanian seperti gereja. Begitu pula pramuka banyak mempengaruhi keadaan mental seseorang anak dan banyak lagi kelompok-kelompok bermain yang dapat diikuti oleh anak-anak.

Anak tunggal dalam masyarakat

Keadaan anak tunggal dalam masyarakat adalah sama dengan anak-anak lainnya. Kalau anak-anak lain dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal maka demikian juga dengan anak tunggal – kedua faktor tersebut juga berfungsi. Faktor-faktor eksternal yang sering dialami olah anak tunggal ialah keadaan rumahnya di mana kurang terjadinyha persaingan antara anggota keluarga.

Seorang anak tunggal tidak atau kurang mengalami pertentangan-pertentangan yang biasanya terjadi di antara saudara-saudara kandung. Perselisihan, rasa irihati, tolong menolong, pendekatan pribadi, yang selalu terdapat dalam keluarga tidak pernah dialaminya. Seolah-olah kehidupan anak tunggal tersebut begitu menyenangkan karena perlindungan yang terus menerus diberikan oleh orang-orang dewasa yang berada di sekelilingnya. Oleh karena itulah sering dialami adanya kelemahan dalam hubungan antar pribadi di luar lingkungan rumahnya. Anak tunggal tersebut menjadi lebih cepat putus asa, lebih pemalu, egoistis, manja dan sebagainya.

Faktor eksternal atau lingkungan banyak membentuk seorang anak tunggal menjadi seorang yang mempunyai kelemahan dalam kematangan sosialnya. Tetapi faktor internal, oleh Bakwin & Bakwin dikemukakan sebagai berikut: “Sejumlah besar para jenius dan anak-anak superior adalah anak tunggal.”

Jadi anak-anak yang berstatus sebagai anak tunggal ternyata banyak yang menjadi superior dan jenius – yang berarti potensi seorang anak tunggal biasanya banyak yang mempunyai potensi tinggi. Hal ini juga dikemukakan oleh Maller: “… dari penelitian yang dilakukan terhadap besarnya keluarga dan kepribadian ditemukan bahwa anak-anak tunggal tergolong mempunyai inteligensi di atas rata-rata…”

Demikianlah mengenai keadaan anak tunggal yang sering ditemukan dalam lingkungan sehari-hari dalam masyarakat. Faktor lingkungan memberikan pengaruh yang dapat dikatakan negatif tetapi ternyata faktor internal sering ditemukan berpotensi tinggi.

Masalah orangtua yang mempunyai anak tunggal

Pada orangtua yang memiliki anak tunggal maka secara ekonomis hal ini menguntungkan mereka. Orangtua tidak perlu bersusah payah mencari penghasilan yang besar karena tanggungjawab untuk memberi atau memenuhi kebutuhan fisik anaknya relatif tidak besar. Berlainan bila mempunyai banyak anak, di mana tiap anak mempunyai kebutuhan-kebutuhan sendiri yang harus dipenuhi oleh kedua orangtuanya. Bila ditinjau dari sudut ini saja, keluarga yang mempunyai anak tunggal akan membutuhkan ongkos hidup yang relatif lebih kecil atau sedikit daripada kalau mempunyai banyak anak.

Masalah sekolah untuk keluarga yang mempunyai anak tunggal juga tidak memberikan beban berat. Pada keluarga besar, misalnya yang mempunyai anak delapan berarti orangtua harus mencari delapan bangku sekolah untuk anaknya tersebut. Sedang kenyataannya masalah sekolah adalah masalah yang masih sulit diatasi oleh pemerintah.

Dengan melihat kenyataan ini berarti keluarga atau orangtua yang memiliki anak tunggal jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan orangtua yang memiliki banyak anak. Demikian pula dengan masalah-masalah lain, misalnya masalah perumahan atau tempat tinggal. Dengan banyaknya anak maka berarti banyak tempat yang harus disediakan. Tempat tidur harus lebih banyak disediakan, tempat bermain harus lebih banyak disediakan. Bila penampungan untuk sekolah saja sudah menimbulkan kesulitan-kesulitan, maka demikian pula dengan perumahan dan tempat bermain ini.

Disamping masalah penghasilan orangtua, masalah sekolah, masalah tempat tinggal, masalah tempat bermain, bila anak-anak tersebut sudah dewasa akan timbul masalah baru yaitu lowongan pekerjaan. Pada masyarakat petani di mana tanah-tanah masih banyak yang harus digarap, memang benarlah bahwa dengan banyaknya anak akan berarti banyaknya tanah yang dapat digarap dan berarti pula penghasilan akan bertambah. Berlainan dengan masyarakat kota yang mengandalkan penghasilan sebagai pegawai. Bila lowongan pekerjaan cukup besar, hal ini tidak menjadi persoalan. Tetapi realitas ternyata berpendapat lain.

Dari uraian di atas terlihat bahwa dengan memiliki anak banyak maka persoalan yang harus diatasi menjadi banyak pula. Apakah hal ini berarti juga sebaliknya, artinya dengan memiliki sedikit anak berarti sedikit pula persoalan yang harus dihadapi oleh keluarga atau orangtua tersebut?

Secara ekonomis mungkin benar, tetapi secara psikologis belum tentu. Salah satu bentuk dari keluarga yang kecil ialah keluarga yang mempunyai anak tunggal, bentuk keluarga inilah yang akan dibahas lebih lanjut.

Dengan hanya memiliki seorang anak maka anak tunggal tersebut akan mendapat perhatian penuh dari kedua orangtuanya. Begitu pula dalam kasih sayang karena kedua orangtua tersebut hanya mempunyai seorang anak sebagai buah hatinya mengakibatkan anak tunggal tersebut tidak akan kekurangan kasih sayang dari orangtuanya. Bahkan apa saja yang diinginkan oleh anak tunggal tersebut akan selalu dituruti oleh kedua orangtuanya. Hal ini akan mempengaruhi kepribadian anak tunggal, karena segala keinginannya selalu terpenuhi maka anak tunggal tersebut bisa menjadi manja. Kalau ada satu saja keinginannya tidak terpenuhi ia kan memberikan reaksi yang sifatnya emosional seperti merengek-rengek kepada orangtuanya, atau cepat mengambek dan marah. Menghadapi reaksi anak demikian orangtua menjadi terpengaruh, bisa menjadi tidak tahan melihatnya atau tidak tega dan berusaha memberikan atau menuruti kemauan anak. Bilamana hal ini berlangsung terus menerus maka lama kelamaan anak tunggal tersebut hanya mengetahui bahwa keinginannya selalu harus dipenuhi, selanjutnya ia menjadi egosentris.

Mengenai ciri-ciri kepribadian anak tunggal, Hurlock mengemukakan sebagi berikut:

Sesuai dengan tradisi, ada dua tipe anak tunggal yaitu:

  1. Yang manja, egosentris, antisosial dan karena itu tidak populer.
  2. Yang menutup diri, peka dan mudah cemas, menarik diri dari hubungan sosial dan terlalu menggantungkan pada orangtua.

Dengan sifat-sifatnya yang manja, egosentris dan antisosial mengakibatkan anak tunggal tersebut menjadi tidak populer. Hal ini memang dapat dimengerti karena dalam pergaulan teman-teman yang tidak kita senangi adalah teman-teman yang banyak menunjukkan sifat-sifat antisosial, egosentris. Karena selalu dituruti segala keinginan maka mengakibatkan anak tunggal tersebut menjadi anak yang terlalu bergantung kepada orang lain dan tentu orangtuanya. Selain dari kedua orangtuanya, anak ini juga selalu mendapat perhatian dari anggota keluarga yang lain, misalnya saudara-saudara dari ayahnya atau ibunya, juga nenek atau kakek kalau masih ada.

Orangtua dari anak tunggal biasanya bukan saja memberikan perhatian yang berlebih-lebihan atau kasih sayang yang berlebihan terhadap anak tunggalnya tetapi acapkali juga memberikan perlindungan secara berlebihan. Karena orangtua tersebut hanay mempunyai seorang anak maka timbulah kekuatiran kalau anaknya mengalami sesuatu kejadian yang berbahaya, karena hal ini akan berarti fatal bagi orangtua tersebut. Dengan sering timbulnya rasa kuatir menyebabkan orangtua selalu mencegah anaknya melakukan pekerjaan yang sebenarnya belum tentu atau tidak berbahaya. Misalnya anaknya dilarang membawa piring sehabis makan karena takut anaknya terluka bilamana piring tersebut jatuh. Anak dilarang naik sepeda di jalan umum karena takut tertubruk mobil, walupun sebenarnya anak tersebut sudah cukup pandai dan cukup waspada. Cara perlakuaan orangtua yang terlalu banyak melindungi aktivitas-aktivitas anaknya ini biasanya dinamakan sikap melindungi yang berlebihan (overproteksi). Sampai batas-batas tertentu perlindungan orangtua memang diperlukan tetapi bilamana bersifat berlebihan maka hal ini akan berpengaruh buruk terhadap anak itu sendiri. Dalam hubungan ini jelas terlihat adanya kecenderungan dari pihak orangtua untuk melindungi anak tunggalnya secara berlebihan, yang sebenarnya justru akan berpengaruh buruk terhadap anak tunggal tersebut.

Kesulitan lain yang dialami oleh seorang anak tunggal ialah pergaulannya yang terus menerus dengan orangtua atau orang dewasa. Sejak anak tunggal tersebut dilahirkan, orang-orang yang dihadapinya, orang-orang yang berada di sekelilingnya adalah orang-orang dewasa. Dalam hal ini tentu saja kedua orangtuanya, paman, bibi dan teman-teman orangtuanya. Acapkali anak tunggal ini berada di rumah atau di suatu lingkungan yang tidak sebaya dengannya. Karena orang-orang di sekelilingnya adalah orang-orang dewasa dan anak kecil satu-satunya adalah dia sendiri, hal ini berarti satu-satunya pribadi yang paling lemah dalam lingkungan tersebut adalah anak tunggal itu. Dengan kedudukan ini berarti anak tunggal itu menduduki kedudukan yang istimewa. Orang-orang dewasa yang berada di sekelilingnya selalu memperlakukannya secara istimewa pula. Situasi ini memberikan pengaruh seperti kurangnya mengalami pertikaian atau pertengkaran yang biasanya terjadi sesama anak. Konflik antar anak kurang dialami, sehingga pada situasi ini anak tunggal tersebut tidak mendapat kesempatan untuk mempelajari semacam ‘tatacara’ atau ‘sopan-santun’ pergaulan di kalangan anak-anak. Anak tunggal tersebut tidak pernah mengalami bagaimana caranya meminta sesuatu barang dengan cara tertentu sebagaimana dialami oleh anak-anak yang sebayanya tetapi mempunyai saudara-saudara, mempunyai kakak dan adik yang sebaya.

Singkatnya, anak tunggal tersebut kurang sekali mengalami masalah emosional yang sebenarnya diperlukan untuk melengkapi perkembangan kepribadian seorang anak. Konflik-konflik emosional yang terjadi dengan saudara-saudaranya tidak atau kurang dialami. Konflik-konflik emosional dengan orangtua juga tidak sebanyak pada keluarga dengan banyak anak.

Seipt, I. S., mengemukakan sebagai berikut: ‘Ia mempunyai kesempatan yang terbatas untuk mempelajari makna dari memberi dan menerima yang terjadi pada semua kelompok, dewasa maupun anak-anak.’

Sebagai anak tunggal, sebagai anak satu-satunya dalam keluarga kesempatan untuk belajar “memberi dan menerima” dengan anak-anak yang lain menjadi kelemahannya.

Pada keluarga dengan beberapa anak selalu terjadi kompetisi antara anak-anak tersebut. Kompetisi ini bisa dalam hal merebut kasih sayang orangtuanya, bisa pula dalam hal pelajaran sekolah, yaitu kompetisi untuk memperoleh angka-angka yang baik dalam ulangan-ulangan di sekolahnya. Dengan tidak adanya saudara bagi anak tunggal ini maka berarti tidak terjadi kompetisi. Anak tunggal tidak mengalami persaingan yang dalam hal-hal tertentu sebenarnya berfaedah bagi perkembangan kepribadian anak tunggal tersebut. Akibat dari kekurangan ini anak tunggal tersebut bisa menjadi anak yang pemalu, kurang berani, kurang insiatif, karena memang semua hal ini tidak terlatih.

Demikianlah masalah-masalah orangtua yang mempunyai anak tunggal. Dari segi ekonomis mungkin menguntungkan dengan memiliki anak tunggal, tetapi dari segi psikologis timbul masalah-masalah yang rumit. Dari sikap manja yang biasanya tampil sampai dengan bentuk-bentuk tingkahlaku yang pemalu dan kurang berani. Semua ini menjadi masalah tersendiri yang harus diperhatikan orangtua.

Ringkasan

Melihat dari sebab-sebabnya terjadinya status anak tunggal dapat dibagi atas dua kemungkinan. Kemungkinan pertama ialah kehadiran anak tungggal tersebut memang ‘direncanakan’. Sedangkan kemungkinan kedua ialah kehadiran anak tunggal tersebut ‘tidak direncanakan’. Baik kemungkinan pertama maupun kemungkinan kedua mempunyai sebab-sebab lebih luas. Kedua kemungkinan di atas selalu diikuti kondisi psikologis yang khusus. Pada kemungkinan pertama kondisi psikologis yang mengiringinya dapat diharapkan bisa lebih ke arah positif. Sebaliknya untuk kemungkinan yang kedua, bisa terjadi orangtua bukan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan anak, tetapi lebih banyak bereaksi terhadap kelemahan-kelemahan yang dimiliki orangtua. Dikhawatirkan sikap-sikap orangtua tersebut dapat memberikan reaksi yang negatif bagi perkembangan psikis anak.

Berbicara mengenai hubungan orangtua dengan anak maka ciri yang khas dari ini ialah hubungan emosional. Ternyata hubungan emosional ini mempunyai derajat yang berbeda-beda. Pada satu pihak ada anak yang mendapat kasih sayang yang sifatnya berlebihan dari orangtuanya, baik dari ibu maupun dari ayah. Pada pihak lain ada anak yang mendapat kasih-sayang yang cukup dan sesuai dengan kebutuhannya. Di sini orangtua bersikap realistik dalam menyalurkan kasih-sayang kepada anak-anak mereka. Pada pihak yang berikutnya ialah anak-anak kurang mendapat kasih-sayang atau tidak mendapat kasih-sayang sama sekali dari orangtuanya. Keadaan demikian sering dikemukakan bahwa bahwa anak mengalami deprivasi emosi. Selain itu, hubungan orangtua dan anak juga ditandai oleh sikap-sikap orangtua terhadap anak-anaknya. Sikap yang tepat ialah sikap yang sifatnya realistik dan sesuai dengan kebutuhan anak.

Perkembangan seorang anak dalam garis besarnya selalu dipengaruhi oleh faktor internal atau faktor dalam dan faktor eksternal atau faktor luar. Hal ini berlaku pula pada anak tunggal. Faktor-faktor eksternal yang sering dialami oleh anak tunggal ialah keadaan rumahnya di mana kurang terjadinya persaingan antara anggota keluarga. Seorang anak tunggal tidak atau kurang mengalami pertentangan-pertentangan yang biasanya terjadi di antara saudara-saudara sekandung. Perselisihan, iri hati, tolong menolong tidak pernah dialami. Kehidupan anak tunggal seolah-olah begitu menyenangkan karena perlindungan yang terus menerus diberikan oleh orang-orang dewasa yang berada di sekelilingnya. Akibatnya sering dialami adanya kelemahan dalam hubungan antarpribadi di luar lingkungan rumahnya. Sedang faktor internal sering ditemukan hal-hal yang menguntungkan, karena anak-anak yang berstatus sebagai anak tunggal ternyata banyak yang menjadi superior, yang berarti seorang anak tunggal sering mempunyai potensi yang tinggi.

Masalah-masalah yang harus dihadapi orangtua dengan anak tunggalnya mempunyai ciri-ciri tersendiri. Dalam bidang ekonomi, pendidikan, perumahan, tempat bermain, mempunyai anak tunggal banyak segi positifnya. Jadi dalam bidang non-psikologis banyak hal yang menguntungkan. Sedang dalam segi psikologis orangtua harus memberikan perhatian yang lebih besar. Tindakan-tindakan orangtua yang bersikap melindungi berlebihan (overproteksi) banyak mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Konflik-konflik emosional yang terjadi dengan saudara-saudara tidak atau kurang dialami oleh anak tunggal. Kesempatan untuk belajar “memberi menerima” dengan anak-anak lain merupakan kelemahannya.

Demikianlah sekilas gambaran mengenai sebab-sebab terjadinya anak tunggal, hubungan dengan orangtuanya, masalah-masalah yang dihadapi serta corak kepribadiannya. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

0 komentar:

Posting Komentar